Jumat, 17 April 2015

ECEK ECEK

Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri masih menjadi perbincangan yang cukup hangat di kalangan pemerhati dan peminat masalah politik berkait ucapan “keluar”nya.
“Sebagai kepanjangan tangan partai, kalian adalah petugas partai. Kalau enggak mau disebut petugas partai, keluar!” kata Megawati di sini.
Makna kalimat “Petugas Partai” pun sontak kembali muncul ke permukaan dan sebagian pihak menilai pidato politik Megawati itu cenderung telah melecehkan presiden Jokowi yang merupakan kader PDIP juga.
Diasumsikan arah ucapan “keluar” Megawati ditujukan kepada Jokowi, meski Megawati sama sekali tidak menyebut satu nama pun dalam pidato politiknya tadi.

Hal lain yang dinilai cukup kontroversial adalah keputusan Megawati yang memasukkan nama Puan ke dalam kepengurusan PDIP yang baru.
Kesannya terlalu dipaksakan dan ditengarai sedang mempersiapkan trah Soekarno sebagai pucuk pimpinan PDIP berikutnya.
Meski Puan langsung dinonaktifkan dari jabatan partai, tetap saja dianggap trik ecek-ecek atau sekadar memenuhi pernyataan presiden Jokowi yang tidak menginginkan menteri-menteri kabinet masih aktif di partai politiknya.
Benarkah ini semacam trik ecek-ecek?. Apa hubungannya dengan “keluar” yang diucapkan oleh Megawati tadi?. Berikut ini analisis ecek-ecek yang tidak membuat orang lain menjadi mewek atau termehek-mehek.
  • Megawati dan PDIP mengingatkan Jokowi bahwa dirinya bisa “keluar” dari istana atau tidak menjadi presiden lagi jika tidak ada dukungan politik dari PDIP yang merupakan partai politik pendukung pemerintah yang terbesar.

  • Seandainya presiden Jokowi masih bisa bertahan tanpa dukungan politik PDIP, kemudian Puan dikeluarkan dari kabinet, Puan akan kembali menjadi pengurus partai.

  • Presiden Jokowi, Megawati dan PDIP masih atau tetap mesra ke depannya?. Puan tetap keluar dari kabinet atau tidak akan menjabat menteri selama 5 tahun masa pemerintahan Jokowi. Makanya Puan tetap masuk dalam kepengurusan partai yang baru dan langsung dinonaktifkan untuk diaktifkan kembali nantinya.

  • Sengaja diangkat ke permukaan kontroversi “Petugas Partai” dan “keluar” itu agar terkesan Jokowi sudah dilecehkan yang akan menarik simpati dan menaikkan kembali citra Jokowi yang ditengarai sudah mulai menurun.
Selesai sudah analisis ecek-ecek yang tidak membuat orang lain menjadi mewek, termehek-mehek, atau terkena penyakit bengek.
Mudah-mudahan tidak ada yang ngenyek atau mencibir, apabila tulisan ini diakhiri dengan trik yang bukan ecek-ecek.

BKUNDER POLITIK

Megawati dan PDIP melakukan blunder politik saat Kongres Nasional PDIP di Bali beberapa waktu lalu. Bagaimana tidak, ia mengatakan “Jika tidak mau menjadi petugas partai, silakan keluar!”
Megawati sah-sah saja mengatakan hal itu mengingat ia sedang berpidato dalam kapasitasnya sebagai ketua umum PDIP. Dan pernyataan tersebut secara tidak langsung menohok Jokowi yang saat itu hadir di kongres PDIP. Jokowi memang kader partai tapi apakah ia seorang petugas (pagawai) partai?
Yang menjadi persoalan adalah, Megawati tidak menyadari bahwa Jokowi saat itu adalah seorang presiden yang ikut hadir dalam kongres. Bukan sekadar kader apalagi petugas partai.
Dikatakan pula di media bahwa Megawatti tidak menghormati Jokowi, malah disindir2, seakan-akan Jokowi memang hanya seorang pesuruh, dan Megawati adalah bosnya. Miris sekali.
Dalam kongres apalagi berskala nasional sebuah partai, jabatan tertinggi adalah sang ketua umum partai itu sendiri. Tapi ingat, kongres nasional PDIP waktu itu dihadiri oleh Jokowi dan Jusuf Kalla. Yang menjadi pertanyaan adalah, dalam kapasitas sebagai apa seorang Jokowi saat itu? Jika sebagai kader atau anggota partai PDIP, ingat, di sana hadir juga Jusuf Kalla sang Wakil Presiden. Berarti di dalam kongres PDIP tersebut, pejabat tertinggi adalah sang wakil presiden, bukan ketua umum partai. Dan Megawati harus menghormati Jusuf Kalla sebagai wakil presiden Republik Indonesia, dengan berpidato secara halus, sopan, dan tidak terlalu mencolok menyindir jokowi “si petugas partai” di hadapan sang wakil presiden. Wah bisa jatuh nih martabat dan harga diri Jokowi di hadapan wakilnya.
Sebaliknya, jika Jusuf Kalla tidak dalam kapasitas sebagai wakil presiden, namun hanya tamu undangan biasa, pertanyaannya kemudian, mewakili Partai Golkarkah? Selama ini kan publik tahu bahwa Jusuf Kalla adalah mantan Ketua Umum Partai Golkar, dan sekarang pun masih “orang Golkar”. Jika memang iya, bagaimana dengan petinggi Partai Golkar yang lain, seperti Aburizal Bakrie, Agung Laksono, Idrus Marham, Setya Novanto, dll? Koq mereka tidak hadir, apakah tidak diundang, dan lain sebagainya?
Yang luar biasa, apabila Jokowi hadir sebagai kader partai, petugas partai, dan Jusuf Kalla sebagai tamu undangan biasa, maka kongres nasional PDIP kemarin adalah kongres sebuah partai yang sanggup mengosongkan “kekuasaan” negara selama beberapa hari, tanpa presiden dan wakil presiden. Dan istana negara, istana merdeka, istana wapres, ditinggalkan “penghuni”nya untuk menjadi masyarakat biasa. Ck… ck… ck… hebat sekali Megawati dan PDIP ini.
Dan banyak sekali hal-hal menarik di kongres PDIP, seperti kader-kader muka lama yang tidak masuk dalam kepengurusan PDIP, seperti Maruarar Sirait, Eva Kusuma Sundari, Rieke Diah Pitaloka. Dan yang lucu lagi, Olly Dodokambey yang pernah jadi tersangka kasus korupsi Hambalang, malah diangkat jadi Bendahara Umum. Ada apa ini?
Ah… kita lihat saja nanti manuver apa lagi yang akan dilakukan sang “bos” PDIP ini.

PENDIDIKAN

Bangsa yang besar dan maju adalah dimana suatu bangsa yang mampu mengoptimalkan sumber daya manusianya dengan baik. Walaupun sumber daya alamnya melimpah jika tidak mampu mengolahnya dengan baik sulitlah bangsa tersebut untuk maju. Justru akan menjadi ladang bagi negara-negara yang sudah maju untuk menguasai bangsa tersebut. Kita mengambil contoh Singapura walau negaranya sempit tidak mempunyai SDA yang banyak, dengan jumlah penduduk yang tidak seberapa hanya beberapa juta saja tapi bisa jauh lebih maju dari Indonesia.Sedangkan Indonesia yang memiliki jumlah penduduk berjuta kurang lebih 259,940 juta jiwa berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik tahun 2010 ditambah dengan kekayaan alamnya yang sangat melimpah, tapi jusrtu tertinggal dari Singapura.
Apa yang menyebabkan kita jauh tertinggal dari Singapura adalah pendidikan. Berbicara mengenai pendidikan di Indonesia seakan-akan tidak akan habis untuk dibicarakan. Belum meratanya pendidikan di Indonesia, adanya ketimpangan pendidikan antara yang dikota dengan didesa. Fungsi pendidikannya sendiri sekarang sudah tidak pada fungsinya. Dimana seharusnya pendidikan bisa untuk mencapai tujuan nasional bangsa Indonesia yang tertuang dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 menyebutkan “ pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan TME, berakhlak mulia, sehat, beriman, cakap, kreatif, dan menjadi warga negara yang demokratis dan tanggungjawab”.
Sudah bukan menjadi hal yang tabu lagi untuk dibicarakan adanya kebocoran soal dan kunci jawaban disetiap pelaksanaan ujian nasional. Adanya pihak-pihak yang terkait didalamnya untuk dijadikan bisnis yang menjanjikan. Hal ini menunjukan bahwa dapat dikatakan sebenarnya pendidikan mengajarkan peserta didik untuk tidak berlaku jujur yang menjadi benih-benih KKN dimasa yang akan datang. Pendidikan yang seharusnya untuk mencerdaskan dan membentuk karakter bangsa yang bermoral tapi justru sebaliknya membodohkan dan menjerumuskan degradasi moral. Jika hal ini akan terus menerus terjadi di Indonesia maka akan dibawa kemana bangsa ini kedepanya.
Siapa yang harus bertanggungjawab atas semua ini, sekolah ataukah pemerintah ? disinilah justru peran pendidik sangat diperlukan untuk menguatkan dan memotivasi peserta didik agar tidak terpengaruh oleh yang semacan itu. Peserta didikpun harus mempunyai kesadaran bahwa hal tersebut tidak baik dan percaya dengan kemampuanya sendiri. Percuma lulus dengan nilai bagus tapi didalamnya kosong tidak memiliki ketrampilan apa-apa dan tidak diberkahi oleh ALLAH. Apakah iya kita tega akan memberikan nilai yang palsu dengan cara yang salah bukan dari hasil kerja keras kita sendiri kepada orang tua kita, padahal selama ini kedua orang tua kita membiayai kita dengan uang hasil dari kerja kerasnya siang malam untuk kita. Renungkanlah kawan semua perbuatan yang kita lakukan akan dipertanggungjawabkan, tegakah kita akan melibatkan kedua orang tua kita untuk mempertanggungkjawabkan yang kita lakukan. Mulai sekarang perbaikilah diri kita, lalukan hal apapun dengan kerja keras kita sendiri, pecayalah bahwa kita mempunyai kemampuan yang luar biasa untuk menjadi senjata kita. Sadarlah kawan-kawan Indonesia !!!

KO IID








MEGA

Keputusan Megawati memasukkan nama Puan Maharani, sebagai pengurus tetapi nonaktif itu sebagai suatu hal yang aneh dan ganjil. Apakah PDI Perjuangan kekurangan kader?
Soalnya, Jokowi sebelumnya (terutama masa kampanye) seringkali mengatakan bahwa menteri-menterinya harus melepaskan jabatan di partai !!!
Ketua Umum Megawati Sukarnoputri telah mengumumkan kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat PDIP periode 2015-2020. Dalam kepengurusan tersebut, terdapat dua posisi yang diisi anak Megawati. “Ketua Bidang Politik dan Keamanan Puan Maharani, tapi saya nonaktifkan,” kata Megawati saat mengumumkan kepengurusan DPP PDI Perjuangan.
Nampaknya PDIP masih menunjukkan wajah lama. Ini malah akan semakin menjadi blunder bagi Jokowi lagi. Lawan politik akan terus mempertanyakan revolusi mental. Apalagi kita tahu juga bahwa Jokowi adalah petugas partai dan kata Bu Mega yang tidak mau disebut petugas partai, untuk silakan keluar dari PDIP.
Sepertinya yang harus di revolusi mental adalah, para pimpinan yang ada di partai tersebut, mereka sudah lupa bahwa Jokowi sekarang adalah milik rakyat Indonesia, partai hanya sebuah alat transportasi saja, setelah sampai,  kita harus kembali kepada  tujuan awal; yaitu untuk Indonesia bukan untuk partai.Keputusan ini seperti  Bom Waktu saja buat Jokowi.
Pengamat Politik LIPI, Firman Noor menilai kultur PDIP yang feodalistik memang belum bisa menggantikan posisi Megawati sebagai sosok berpengaruh di PDIP. Sayangnya, nama Puan yang digadang gadang bisa menjadi sosok pembaru dinilai banyak pihak belum kompeten dalam memimpin partai. “Sosok Mega masih begitu kuat, Puan bukan sosok cemerlang untuk membawa perubahan.” ujar Firman saar dihubungi Republika, Kamis

A HOOOOQ

Gubernur DKI Jakarta,Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok mengeluarkan sebuah kebijakan baru yang tergolong cantik dan mungkin ini kebijakan pertama kalinya yang diterapkan di Indonesia oleh kepala daerah.kebijakan tersebit ialah bahwa Ahok ingin meremajakan Satpol PP dan menggantinya dengan TNI-POLRI.selama ini Ahok menilai bahwa kinerja Satpol PP sama sekali tidak profesional dalam menjalankan tugasnya dan lebih banyak tidak untuk kepentingan masyarakat ,karena pada dasarnya penilaian tersebut muncul setelah menilat betapa rendahnya kualitas kerja Satpol PP akhir-akhir ini.kebijakan Gubernur Ahok ini patut kita dukung,karena selama ini diketahui bahwa,kinerja TNI-POLRI lebih jauh profesional dalam bekerja ketimbang kinerja Sat-Pol PP yang cenderung kalah profesional dengan TNI-POLRI.dan tak hanya di Jakarta saja,kebijakan cantik ala Ahok ini juga dapat ditiru oleh daerah-daerah lainnya,karena diketahui secara jelas bahwa,tidak hanya di Jakarta saja namun diseluruh Indonesia kinerja Satpol PP sungguh benar-benar tidak dapat diharapkan oleh masyarakat.
Sumber: Google
Dengan hadirnya TNI-POLRI di lingkungan pemerintah DKI Jakarta,diharapkan kedepannya pilihan Ahok ini dapat lebih membawa perubahan yang cukup signifikan khususnya terhadap keamanan dan kenyaman masyarakat DKI Jakarta.melihat kebijakan demi kebijakan yang diluncurkan Ahok ini semakin membuktikkan bahwa Ahok merupakan salah satu kepala daerah di Indonesia yang paling dapat diharapkan profesionalitasnya dalam bekerja.kebijakan Ahok meremajakan Sat-Pol PP ini juga diyakini akan mendapat dukungan luas dari masyarakat,karena masyarakat lebih percaya pada profesionalitas TNI-POLRI yang telah teruji ketimbang Satpol PP yang justru mengeluarkan anggaran daerah lebih banyak tapi tidak didukung peningkatan upaya kinerja dalam menjalankan amanat tersebut.alasan utama Ahok ingin meremajakan Satpol PP honorer dengan TNI-POLRI ialah Ahok melihat bahwa reformasi ditubuh TNI-POLRI jauh lebih baik ketimbang reformasi birokrasi yang masih ‘’jalan ditempat’’ tersebut,Ahok juga menilai bahwa lebih baik meremajakan Sat-Pol PP dengan memakai jasa TNI-POLRI yang tidak terlalu sibuk jika tidak dalam kondisi perang.
Sumber:Google
Jika melihat berbagai tolok ukur tersebut,rasanya memang sudah sepantasanya DKI Jakarta meremajakan Satpol PP karena tidak ada gunanya pemerintah daerah memberikan honorer yang besar namun tidak di iringi dengan peningkatan kualitas kerja.pemakaian jasa TN-POLRI adalah jalan terakhir bagi setiap daerah di Indonesia,karena selain menghemat anggaran,TNI-POLRI juga dalam koordinasinya lebih gampang jika dibandingkan dengan PNS maupun tenaga outsourching.kebijakan Gubernur Ahok ini sudah pasti dipertimbangkan secara matang,karena kita juga sebagai masyarakat tidak rela kalau anggaran daerah yang dikeluarakan hanya untuk berpoya-poya para Satpol PP yang tidak pernah menunjukkan kualitas kerjanya di mata masyarakat.